Senin, 11 Februari 2013

Perempuan dalam Kursi Politik Indonesia


Target 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik (partai politik) pasca reformasi, menunjukkan laki-laki perempuan di Indonesia telah mendapat tempat dan kesempatan yang sama di kursi politik, ini disebutkan dalam pasal 65 ayat 1 UU Nomor 12 tahun 2003 diperbarui pada undang-undang no. 10 tahun 2008 dan  juga diperkuat dengan UU RI nomor 39 tahun 1999, pasal 46 tentang HAM yang menjamin keterwakilan perempuan, baik dalam bidang legislative, eksekutif, maupun yudikatif. Sekarang tinggal bagaimana perempuan memaknai peluang yang ada untuk memperjuangkan menjadi kinerja yang menguntungkan bagi kaum perempuan. Isu-isu kesetaraan harus dimaknai sebagai spirit bekerja keras dan terus menerus memberi sinyal perjuangan kepada kaum lelaki bahwa perempuan harusnya menjadi mitra, patner dalam segala  bentuk perjuangan dalam proses pembangunan bangsa dan Negara.
Namun realiasinya hingga kini belum berjalan baik, merurut saya penyebabnya bisa saja terjadi karena sebagian tradisi-tradisi yang berlaku di masyarakat Indonesia yang masih membelenggu perempuan.Selain itu disebabkan oleh factor kontruksi social budaya.Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.[1]
Akibat kontruksi sosial budaya yang terjadi dimasyarakat Indonesia kurang berpihak, menyebabkan perempuan terbatas dalam Sumber Daya Manusia (SDM).Kontruksi budaya dalam masyarakat kita membuat perempuan harus menempati posisi kedua setelah laki-laki.Akibatnya, perempuan menjadi korban ketimpangan sosial.Pembagian kerja berbasis jenis kelamin (gender based division of labor) sudah melatarbelakangi terjadinya stratifikasi gender.Hal itu membuat perempuan hanya bekerja disektor domestic, sedangkan laki-laki di wilayah publik.Meskiperempuan sesungguhnya memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki, akan tetapi mereka tidak berhak menempati posisi penting dalam masyarakat. Selama perkembangnnya hingga sekarang, masih saja ada masyarakat yang mengikuti pola pemikiran seperti itu.Perempuan masih diperlakukan sebagai warga kels dua.Hak-haknya dibatasi, terutama dalam mengambil keputusan kolektif, juga steril posisi-posisi strategis dalam masyarakat hingga politik. Saat politik diberi makna sebagai decision maker di ruang public yang berdampak terhadap masyarakat luas maka deskripsi dan asumsi yang mempertentangkan maupun menyatakan perempuan tak boleh ikut serta didalamnya, menjadi asumsi dan pernyataan yang tidak lagi relevan. Dalam kerangka ini, laki-laki dan perempuan sebagai warga Negara, harus dipandang sebagai entitas setara (equal). Karena apapun yang diputuskan diranah politik akan berdampak kepada semuanya, baik laki-laki dan perempuan. Kehadiran perempuan di bidang politik di dunia ada banyak contohnya seperti Jerman dengan kepala pemerintahan atau kanselir dijabat oleh perempuan yaitu angela Markel. Helen Clarke di Selandia baru, Margareth Thatcher di Inggris, Aquino dan Arroyo di Filipina, Hasina dan Zia di Bangladesh, Helonen dari Finlandia serta di Negara kita Presiden Megawati Soekarno Putri. Perempuan itu mampu mendobrak tradisi patriarki di negaranya masing-masing, bahkan memberikan kontribusi terhadap aktualisasinya: bahwa mereka juga ikut menentukan proses politik yang terjadi. Budaya patriarki yang mengkontruksi budaya memang membelenggu entitas perempuan Indonesia untuk banyak berperan serta dalam politik.
Selain itu semua, menurut saya tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran UU Nomor 10 tahun 2008 juga memicu menjadi salah satunya tidak terpenuhi  kuota perempuan 30 persen dalam partai politik. Mestinya berilah sanksi misalnya: bagi partai politik yang tidak mencapai 30 persen kuota perempuan didalamnya diberikan peringatan oleh Komisi Pemelihan Umum (KPU)  untuk tidak diijinkan mengikuti pemilihan.
Ini juga merupakan tugas partai politik untuk melakukan rekrutmen pada calon legislatif perempuannya agar memenuhi kuota 30%. Bisa dilakukan dengan cara melalui organisasi-organisasi underbow atau ormas-ormas. Bisa juga melalui perwakilan daerah. Dengan adanya 30 % perempuan diparlemen, akan bisa menyuarakan banyak kepentingan perempuan. Jangn sampai hal menyangkut keberadaan perempuan, tetapi keputusannya didominasi kaum laki-laki.


[1]M. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasidi Masyarakat,( Jakarta : Kencana, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah membaca artikel ini ^_^ Silahkan memberi komentar dengan kata-kata yang sopan. Harap tidak memberi komentar dengan kata-kata kasar ^_^