Target 30 persen
keterwakilan perempuan dalam politik (partai politik) pasca reformasi,
menunjukkan laki-laki perempuan di Indonesia telah mendapat tempat dan
kesempatan yang sama di kursi politik, ini disebutkan dalam pasal 65 ayat 1 UU
Nomor 12 tahun 2003 diperbarui pada undang-undang no. 10 tahun 2008 dan juga diperkuat dengan UU RI nomor 39 tahun
1999, pasal 46 tentang HAM yang menjamin keterwakilan perempuan, baik dalam
bidang legislative, eksekutif, maupun yudikatif. Sekarang tinggal bagaimana
perempuan memaknai peluang yang ada untuk memperjuangkan menjadi kinerja yang
menguntungkan bagi kaum perempuan. Isu-isu kesetaraan harus dimaknai sebagai
spirit bekerja keras dan terus menerus memberi sinyal perjuangan kepada kaum
lelaki bahwa perempuan harusnya menjadi mitra, patner dalam segala bentuk perjuangan dalam proses pembangunan
bangsa dan Negara.
Namun realiasinya
hingga kini belum berjalan baik, merurut saya penyebabnya bisa saja terjadi
karena sebagian tradisi-tradisi yang berlaku di masyarakat Indonesia yang masih
membelenggu perempuan.Selain itu disebabkan oleh factor kontruksi social budaya.Istilah konstruksi sosial atas
realitas (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses
sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara
terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.[1]
Akibat kontruksi sosial
budaya yang terjadi dimasyarakat Indonesia kurang berpihak, menyebabkan
perempuan terbatas dalam Sumber Daya Manusia (SDM).Kontruksi budaya dalam
masyarakat kita membuat perempuan harus menempati posisi kedua setelah laki-laki.Akibatnya,
perempuan menjadi korban ketimpangan sosial.Pembagian kerja berbasis jenis
kelamin (gender based division of labor) sudah melatarbelakangi terjadinya
stratifikasi gender.Hal itu membuat perempuan hanya bekerja disektor domestic,
sedangkan laki-laki di wilayah publik.Meskiperempuan sesungguhnya memiliki
kapasitas yang sama dengan laki-laki, akan tetapi mereka tidak berhak menempati
posisi penting dalam masyarakat. Selama perkembangnnya hingga sekarang, masih
saja ada masyarakat yang mengikuti pola pemikiran seperti itu.Perempuan masih
diperlakukan sebagai warga kels dua.Hak-haknya dibatasi, terutama dalam
mengambil keputusan kolektif, juga steril posisi-posisi strategis dalam
masyarakat hingga politik. Saat politik diberi makna sebagai decision maker di
ruang public yang berdampak terhadap masyarakat luas maka deskripsi dan asumsi
yang mempertentangkan maupun menyatakan perempuan tak boleh ikut serta didalamnya, menjadi asumsi dan pernyataan yang tidak lagi relevan.
Dalam kerangka ini, laki-laki dan perempuan sebagai warga Negara, harus
dipandang sebagai entitas setara (equal). Karena apapun yang diputuskan diranah
politik akan berdampak kepada semuanya, baik laki-laki dan perempuan. Kehadiran
perempuan di bidang politik di dunia ada banyak contohnya seperti Jerman dengan
kepala pemerintahan atau kanselir dijabat oleh perempuan yaitu angela Markel.
Helen Clarke di Selandia baru, Margareth Thatcher di Inggris, Aquino dan Arroyo
di Filipina, Hasina dan Zia di Bangladesh, Helonen dari Finlandia serta di
Negara kita Presiden Megawati Soekarno Putri. Perempuan itu mampu mendobrak
tradisi patriarki di negaranya masing-masing, bahkan memberikan kontribusi
terhadap aktualisasinya: bahwa mereka juga ikut menentukan proses politik yang
terjadi. Budaya patriarki yang mengkontruksi budaya memang membelenggu entitas perempuan
Indonesia untuk banyak berperan serta dalam politik.
Selain itu semua, menurut
saya tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran UU Nomor 10 tahun 2008
juga memicu menjadi salah satunya tidak terpenuhi kuota perempuan 30 persen dalam partai
politik. Mestinya berilah sanksi misalnya: bagi partai politik yang tidak
mencapai 30 persen kuota perempuan didalamnya diberikan peringatan oleh Komisi
Pemelihan Umum (KPU) untuk tidak
diijinkan mengikuti pemilihan.
Ini juga merupakan
tugas partai politik untuk melakukan rekrutmen pada calon legislatif
perempuannya agar memenuhi kuota 30%. Bisa dilakukan dengan cara melalui
organisasi-organisasi underbow atau ormas-ormas. Bisa juga melalui perwakilan
daerah. Dengan adanya 30 % perempuan diparlemen, akan bisa menyuarakan banyak
kepentingan perempuan. Jangn sampai hal menyangkut keberadaan perempuan, tetapi
keputusannya didominasi kaum laki-laki.
[1]M. Burhan
Bungin, Sosiologi Komunikasi : Teori,
Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasidi Masyarakat,( Jakarta :
Kencana, 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca artikel ini ^_^ Silahkan memberi komentar dengan kata-kata yang sopan. Harap tidak memberi komentar dengan kata-kata kasar ^_^