Untuk
pemikiran yang lurus serta komunikasi dengan orang lain harus memastikan arti
(isi dan luas) pengertian-pengertian dan kata-kata yang dipakai. Pengertian dan
diskusi akan kacau apabila tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan istilah-istilah
tertentu. Perumusan yang singkat, padat, jelas, dan tepat, yang menerangkan
‘apa sebenarnya suatu hal itu’ sehingga dengan jelas dapat dimengerti dan
dibedakan dari semua hal lain, disebut definisi.
Menurut
arti kata, definisi berarti ‘pembatasan’. Maksudnya menentukan batas-batas
pengertian tertentu sehingga jelas apa yang dimaksudkan, tidak kabur dan tidak
dicampuradukkan dengan pengertian-pengertian lain. Tegasnya, definisi yang baik
harus:
·
Merumuskan dengan jelas,
lengkap, dan singkat semua unsur pokok (isi) pengertian tertentu itu.
·
Yaitu unsur-unsur yang
perlu dan cukup untuk mengetahui apa ebenarnya barang itu (tidak lebih dan
tidak kurang).
·
Sehingga dengan jelas dapat
dibedakan dari semua barang yang lain.
Jenis-jenis Definisi
a.
Definisi Nominal (atau
menurut kata atau nama)
Definisi nominal
hanyalah menerangkan arti “nama istilah tertentu”. Hal ini dapat dilakukan
dengan jalan:
1.
Kata sinonim yaitu kata
searti yang lebih umum dimengerti. Misalnya: Paguyuban = perkumpulan, baik =
bagus, dan benar = betul.
2.
Mengupas asal usul istilah
tertentu (etimologi).
Misalnya: Psikologi itu berasal dari kata Yunani yaitu “Psyche”
dan “Logos”. Arti kata “Logos” yaitu nalar, logika, atau ilmu.
Karena itu Psikologi merupakan ilmu tentang “Psyche”, dalam bahasa
inggris berarti “soul, mind, spirit” dan dalam bahasa indonesia berarti
“jiwa”. Jadi, Psikologi berarti ilmu kejiwaan.
Definisi nominal ini berguna untuk memberi petunjuk tentang arti kata dan
mencegah kesalahpahaman. Definisi nominal itu belumlah definisi dalam arti yang
sebenarnya karena baru menerangkan arti nama atau istilah saja, dan belum
menerangkan apa sebenarnya barang itu sendiri.
b.
Definisi Riel
Definisi Riel
menerangkan apa sebenarnya barang tertentu itu, dengan menunjukkan realitas
atau hakikat barang itu sendiri (bukan hanya namanya saja). Ada pelbagai cara
menyusun definisi riel (yang mungkin saling melengkapi):
1.
Dari sifat khas atau
hakiki (definisi logis/esensial)
Definisi ini selalu terdiri dari dua bagian: bagian
pertama menunjukkan golongan ‘atasan’ atau jenis terdekat, yang menyatakan
kesamaan hal yang didefinisikan itu dengan barang-barang lain (termasuk
golongan nama). Bagian kedua menunjukkan sifat khas atau hakiki yang hanya
terdapat pada barang itu saja, jadi menyatakan dalam hal apa barang itu justru
berbeda dari barang-barang lain. Cara definisi ini paling umum dipakai. Contoh:
Kerbau itu apa? Apakah sesuatu yang bisa dimakan? Tidak! Kerbau adalah binatang
sejenis….
2.
Dari kumpulan
sifat-sifat (definisi deskriptif)
Sedemikian rupa dari kumpulan sifat sehingga semua sifat
itu bersama-sama ckup untuk menerangkan barang itu dengan jelas, hingga dapat
dibedakan dari barang-barang lain. Definisi deskriptif ini banyak dipakai dalam
ilmu alam, ilmu hayat dan sebagainya. Definisi deskriptif ‘keindahan’ misalnya
sebagai berikut: keindahan itu cantik, keindahan itu elok, keindahan itu
permai, keindahan itu molek, keindahan itu bagus, keindahan itu tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia, keindahan itu identik dengan kebenaran.
3.
Dari sebab-sebab dan
atau tujuannya (definisi kausal atau final)
Banyak barang, alat, kejadian dapat diterangkan dengan
menunjukkan sebab-sebabnya dan maksud-maksudnya. Contoh: bantal adalah benda
dipakai alas kepala yang nyaman untuk tidur sebab bantal berisikan kapuk/dakron
yang membuatnya empuk.
Aturan-aturan Definisi
1.
Definisi harus dapat
dibolak-balik dengan hal yang didefinisikan itu
Jadi, definisi harus persis sama luasnya dengan
pengertian yang didefinisikan itu. Misalnya ‘kucing’ didefinisikan sebagai
‘binatang berbulu dan berekor’. Definisi ini tidak memenuhi syarat, karena ‘seekor
binatang yang berbulu dan berekor’ itu belum tentu kucing bisa juga anjing. Pembalikan
ini merupakan tes yang paling baik untuk memeriksa tepat-tidaknya sebuah
definisi.
2.
Hal yang didefinikan
itu tidak boleh masuk kedalam definisi.
Contoh: jangan
merumuskan ‘hukum’ sebagai ‘ilmu tentang aturan hukum’.
3.
Definisi tidak boleh
negatif, kalau dapat dirumuskan secara positif.
Misalnya:
kecantikan bukanlah keburukkan. Hal itu benar namun belum menjelaskan apa
sebenarnya definisi kecantikan.
4.
Definisi harus
sungguh-sungguh menjelaskan
Definisi haruslah
menyebutkan unsur-unsur pokok, dirumuskan sejelas-jelasnya, harus lebih jelas
dari yang didefinisikan, dengan menghindari kata-kata yang sukar atau tidak
perlu. Hanya menyebutkan satu dua contoh saja bukanlah definisi. Contoh salah:
pakaian misalnya rok dan kemeja, rentenir adalah lintah darat.
5.
Definisi harus tepat
perumusannya, tidak boleh lebih luas atau lebih sempit dari yang harus
didefinisikan.
kalau yang
didefinisikan itu suatu sifat maka jangan disebut suatu keadaan, dan
sebagainya. Misalnya: keramahan ialah orang yang selalu…., kejahatan yaitu
kalau orang… dan seterusnya.
6.
Definisi tidak boleh
memuat metafora
Metafora atau kata
kata kiasan tidak tanpa jasa, tetapi pemakaian kata tidak secara harfiyah hanya
akan menciptakan kedwiartian yang tidak perlu dan mengaburkan.
Referensi :
Dr. W. Poespoprodjo, SH dan Drs.
EK. T.Gilarso, Logika Ilmu Menalar, CV. Pustaka Grafika, Bandung:1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca artikel ini ^_^ Silahkan memberi komentar dengan kata-kata yang sopan. Harap tidak memberi komentar dengan kata-kata kasar ^_^