1. Pengertian Hibah
Kata “hibah” berasal dari bahasa Arab
yang berarti “kebaikan” atau keutamaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada
pihak lain berupa harta atau bukan.[1]
Jadi hibah merupakan suatu pemberian
yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada
kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan
pada saat si pemberi masih hidup.
2. Dasar Hukum Hibah
Hibah termasuk sunah yang dianjurkan mengerjakannya,
karena banyaknya maslahat yang terkandung di dalamnya seperti melembutkan hati,
menimbulkan kecintaan dan sebagainya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah bersabda:
تَهَادَوْا تَحَابَّوْا
“Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan saling
mencintai.” (HR. Bukhari dalam Al Adab dan Baihaqi. Al Haafizh berkata,
"Isnadnya hasan.")
Aisyah mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - يَقْبَلُ اَلْهَدِيَّةَ , وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam suka
menerima hadiah dan membalasnya.” (HR. Bukhari)
Beliau mengajak agar kita mau menerima hadiah dan
mendorong orang melakukannya. Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Khalid bin
'Addiy, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ جَاءَهُ مِنْ أَخِيهِ مَعْرُوفٌ، مِنْ غَيْرِ إِشْرَافٍ وَلَا
مَسْأَلَةٍ، فَلْيَقْبَلْهُ وَلَا يَرُدَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ
اللهُ إِلَيْهِ
"Barang siapa yang kedatangan sesuatu yang baik
dari saudaranya tanpa diharap dan diminta, maka terimalah dan jangan ditolak,
karena hal itu merupakan rezeki yang diberikan Allah kepadanya." (Hadits
ini dinyatakan shahih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga
menganjurkan kita menerima hadiah meskipun sesuatu yang rendah. Oleh karena
itu, para ulama berpendapat makruhnya menolak hadiah jika tidak ada penghalang
syar'i. Anas radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
لَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ، وَلَوْ دُعِيتُ عَلَيْهِ
لَأَجَبْتُ
"Kalau sekiranya aku diberi kaki hewan tentu aku
terima dan kalau aku diundang untuknya, tentu aku akan memenuhinya." (HR.
Ahmad dan Tirmidzi, dan ia menshahihkannya)
3. Rukun ( Unsur) dan Syarat Hibah
Rukun-rukun
hibah adalah sebagai berikut:
a. Pemberi hibah adalah pemilik sah barang
yang dihibahkan dan pada waktu pemberian itu dilakukan berada dalam keadaan
sehat, baik jasmani maupun rohaninya.[2]
b. Penerima hibah adalah setiap orang, baik
perorangan maupun badan hukum.
c. Perbuatan menghibahkan itu diiringi
dengan ijab kabul, yakni serah terima antara pemberi dan penerima.
d. Benda yang dihibahkan dapat terdiri dari
segala macam barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Syarat-syarat Hibah adalah:
a. Pemberi hibah haruslah orang yang telah
dewasa, yang cakap melakukan tindakan hukum dan yanng punya barang yang
dihibahkan.
b. Barang yang dihibahkan harus mempunyai
nilai yang jelas, tidak terikat dengan harta pemberi hibah.
c. Penerima hibah adalah orang yang cakap
melakukan perbuatan hukum. Kalau dia masih dibawah umur, diwakili oleh walinya
atau seseorang yang diwasiatkan untuk menerimanya.
d. Di kalangan mazhab Syafi’i ijab kabul
(serah terima) merupakan syarat sahnya suatu hibah.
e. Pada dasarnya, hibah tidak dapat
dibatalkan, kecuali hibah yang dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya,
selama barang yang dihibahkan itu belum dikuasai oleh pihak ke tiga.
f. Pada dasarnya, hibah adalah pemberian
yang tidak ada kaitannya dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah
itu akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris.[3]
4. Fungsi dan Hikmah Hibah
Fungsi
Hibah ialah:
a. Menjembatani kesenjangan antaragolongan
yang mampu dengan golongan yang tidak mampu.
b. Sarana mewujudkan keadilan sosial dan
salah satu upaya untuk menolong orang yang lemah.
c. Salah satu upaya untuk menolong golongan
lemah.
Hikmah
Hibah yakni :
a. Menghidupkan rasa kebersamaan dan
tolong-menolong.
b. Menumbuhkan sifat sosial, kedermawanan.
c. Mendorong manusia berbuat baik.
d. Menjalin hubungan antara sesama manusia,
dan
e. Salah satu cara pemerataan rezeki atau
pendapatan.
B.
WAKAF
1. Pengertian Wakaf
Pengertian waqf yang menjadi wakaf dalam bahasa
indonesia, berasal dari kata kerja bahasa arab waqafa yang berarti
menghentikan, berdiam di tempat atau menahan sesuatu. Dapat disimpulkan
bahwa wakaf ialah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah
seketika dan untuk pengunaan yang mubah ( tidak dilarang syara’) serta
dimaksudkan untuk mendapatkan keridlaan dari Allah SWT.[4]
2. Dasar Hukum Wakaf
Allah telah
mensyari’atkan wakaf, menganjurkannya dan menjadikannya sebagai salah satu cara
untuk mendekatkan diri kepada- Nya. Meskipun masalah wakaf ini tidak secara jelas dan tegas tercantum di
dalam Al-qur’an, namun tidak jarang ditemukan beberapa ayat yang memerintahkan
manusia untuk berbuat baik untuk kemaslahatan masyarakat lebih-lebih umat
islam. Hal itu merupakan suatu hal yang prinsip mestinya menjadi landasan hidup
bermasyarakat yang salah satu medianya melalui jalur perwakafan.
a. Dalil dari Al- qur’an
Secara
umum tidak terdapat ayat al-Qur’an yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.[5]
Oleh karena wakaf termasuk infaq fi
sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep
wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Secara
umum wakaf ditunjukkan oleh firman Allah
SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟
أَنفِقُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ
ٱلْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا۟ ٱلْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِـَٔاخِذِيهِ
إِلَّآ أَن تُغْمِضُوا۟ فِيهِ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman!
Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik,
dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” Q.S.
al-Baqarah : 267
لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ
تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍۢ فَإِنَّ ٱللَّهَ
بِهِۦ عَلِيمٌۭ
Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta
yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
maha Mengetahuinya. (Q.S.3:92).
b. Dalil dari Hadist
Saalah satu
hadist yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا مَاتَ اَلْإِنْسَانُ
اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ
عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالَحٍ يَدْعُو لَهُ ) رَوَاهُ
مُسْلِم
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda “Apabila seorang manusia itu meninggal
dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu
sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,
dan anak soleh yang mendoakannya.”
Selain
dasar dari al-Quran dan Hadist di atas, para ulama’ sepakat (ijma’) menerima
wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam islam. Tidak ada orang
yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam islam karena wakaf telah
menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi
dan kaum Muslmin sejak masa awal islam hinga sekarang.
3.
Rukun
Wakaf
Ada empat rukun atau unsur-unsur wakaf,
yaitu:
a.
Wakif
(orang yang berwakaf)
Wakif adalah pemilik harta yang mewakafkan
hartanya. Menurut pakar hukum islam, suatu wakaf dianggap sah dan dapat
dilaksanakan apabila wakif mempunyai kecakapan untuk melakukan “tabarru” yakni
melepas hak milik tanpa mengharapkan imbalan materil. Oleh karena itu seorang
wakif haruslah orang yang merdeka, berakal sehat, balig dan betul-betul
memiliki harta benda. Wakaf harus
didasarkan atas kemauan sendiri, bukan atas tekanan atau paksaan dari pihak
manapun.[6]
Para ahli hukum islam sudah sepakat bahwa wakaf dari orang yang dipaksa adalah
tidak sah hukumnya, begitu pula hukum atau ketentuan bagi setiap perbuatannya.
b.
Mauquf
(harta yang diwakafkan)
Barang atau benda yang diwakafkan haruslah
memenuhi syarat-syarat berikut. Pertama, harus tetap zatnya dan dapat
dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama, tidak habis sekali pakai.
Pemanfaatan itu haruslah untuk hal-hal yang berguna, halal dan sah menurut
hukum. Kedua, harta yang diwakafkan itu haruslah jelas wujudnya dan pasti
batas-batasnya (jika berbentuk tanah misalnya). Ketiga, benda itu sebagaimana
disebutkan di atas, harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari segala
beban. Keempat, harta yang diwakafkan itu dapat berupa benda bergerak atau
tidak bergerak seperti buku-buku, surat-surat berharga dan sebagainya. Kalau ia berupa saham atau
modal, haruslah diusahakan agar penggunaan modal itu tidak untuk usaha-usaha
yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum islam, misalnya untuk
mendirikan atau membiayai tempat perjudian atau usaha-usaha maksiat lainnya.
c.
Mauquf
alaih (tujuan wakaf)
Yang dimaksud dengan mauquf adalah tujuan
wakaf yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh
ajaran islam. Oleh karena itu, benda-benda yang dijadikan sebagai objek wakaf
hendaknya benda-benda yang termasuk dalam bidang mendekatkan diri (qurbat) kepada
Allah SWT.[7]
Tidak dibenarkan pelaksanaan wakaf itu
didasarkan kepada tujuan yang tidak baik dan mendatangkan kemudaratan kepada
masyarakat. Wakaf hendaknya dilaksanakan dengan tujuan untuk kebaikan sesama
manusia dengan mendapat ridha dan pahala dari Allah SWT, misalnya untuk
pelaksanaan pendidikan dan untuk kepentinngan umum lainnya seperti mendirikan
rumah sakit dan sebagainya.
d.
Sighat
wakaf ( Ikrar wakaf)
Sighat wakaf ialah kata-kata atau
pernnyataan yang diucapkan atau dinyatakan oleh orang yanng berwakaf.
Pernyataan wakif yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang
diwakafkan itu, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Dengan pernyatan
itu, tanggallah hak wakif atas benda yang diwakafkannya. Benda itu kembali
menjadi hak milik mutlak milik Allah yang dimanfaatkan oleh orang atau
orang-orang yang disebut dalam ikrar wakaf tersebut. Karena tindakan mawakafkan
sesuatu itu dipandang sebagai perbuatan hukum sepihak, maka dengan pernyataan
wakif yang merupakan ijab, perwakafan telah terjadi. Pernyataan qabul dari
mauquf ‘alaih yakni orang atau orang-orang yang berhak menikmati hasil wakaf
itu tidak diperlukan.
4.
Syarat-syarat
wakaf
Agar
amalan wakaf itu sah, diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Untuk
selama-lamanya.
Wakaf
untuk selama-lamanya merupakan syarat shahnya amalan wakaf, tidak sah bila dibatasi dengan waktu tertentu.
b.
Tidak
boleh dicabut
Bila
terjadi suatu wakaf dan wakaf itu telah sah, maka pernyataan wakaf itu tidak
boleh dicabut. Wakaf yang dinyatakan dengan perantara wasiat, maka
pelaksanaannya dilakukan setelah waaqif meninggal dunia dan wasiat wakaf itu
tidak seorangpun yang boleh mencabutnya.
c.
Pemilikan
wakaf tidak boleh dipindah tangankan
Dengan terjadinya wakaf,
maka sejak itu harta wakaf itu telah menjadi milik Allah SWT. Pemilik
[1]Depag, Ilmu Fiqih 3, Depag,
Jakarta, 1984, hal 198.
[2] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, UI-Press, 1988, hal.24.
[3] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, UI-Press, Jakarta, 1988, hal
24.
[4] Abdul Shomad, Hukum Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010,
hal 371.
[5] ibid hal 84.
[6] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, UI-Press, Jakarta, 1988, hal
85.
[7] Ibid hal 87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca artikel ini ^_^ Silahkan memberi komentar dengan kata-kata yang sopan. Harap tidak memberi komentar dengan kata-kata kasar ^_^