Senin, 11 Februari 2013

Istilah Komunikasi dalam Bahasa Arab "U"

  • 1.      Ucapan                                      = كَلاَمٌ
  • 2.      Ulasan                                     =  مَرْاجِعَةٌ
  • 3.      Ultimatum                                =إِنْذَارُ 
  • 4.      Umpan (feed back)                 =طَعِمَ  
  • 5. Umum                                              =   عاَمٌ
  •  6.   Ungkapan                               =   التَّعْبِيْرُ 
  • 7.      Universal                                 =  عَالِمِيَّ     
  • 8.      Unsur                                      =           الْعُنْصُرِ
  • 9.      Uraian                                     =  تَعْلِيْقُ  
  • 10.  Urgensi                                    =  إِلْحاَحُ  
  • 11.  Usaha                                      =  عَمِلَ    
  • 12.  Utama                                     =   أَساَسِيْ   
  • 13.  Utilitas                                     =  فاَئِدَةٌ       
  • 14.  Gambar                                   =   صُوْرَةٌ   
  • 15.  Gaya                                        =  أُسْلُوْبِ  
  • 16.  Gelombang                              =   مَوْجَةٌ  
  • 17.  Gemetar                                  =  تَرْتَعَشُ  
  • 18.  Generalisasi                             =  تَعْمِيْمِ   
  • 19.  Gerak                                      =   حَرَكَةٌ
  • 20.  Gerik                                       =   الْحَرَكَاتٌ   
  • 21.  Grafika                                    =   رَسْمٌ بَيَانَيَّ    

Peminangan dalam Islam


A.  PEMINANGAN (Meminang)
a.    Pengertian meminang
          Meminang artinya nenunjukan (menyatakan) permintaan untuk perjodohan dari seorang laki-laki pada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seorang yang di percayai.[1]
          Meminang dengan cara tersebut di bolehkan dengan agama islam, terhadap kepada gadis atau janda yang telah habis masa iddahnya, kecuali perempuan yang masih dalam iddah bain sebaiknya dengan jalan sindiran saja ada pun terhadap adapun terhadap perempuan yang masih dalam iddah raj’iyah maka haram meminangnya, karena perempuan yang masih dalam iddah raj’iyah masih hukum istri bagi laki-laki yang menceraikannya, karena dia boleh kembali padanya.
          Demikian juga tidak diizinkan meminang seseorang perempuan yang sedang di pinang oleh orang lain, sebelum ternyata bahwa permintaanya itu tidak diterima.[2]
b.    Hukum Melihat Pinangan
          Guna baiknya kehidupan suami istri, kesejahteraan dan ketentramannya, setidaknya laki-laki lebih dahulu melihat perempuan yang akan dipinangnya sehingga menjadi satu faktor menggalakkan dia untuk mempersuntingnya, atau untuk mengetahui cacat celanya yang bisa jadi penyebab kegagalannya sehingga berganti mengambil orang lain.
          Orang yang bijaksana tidak akan mau memasuki sesuatu sebelum dia tahu sama sekali baik dan buruknya. Al A’masy pernah berkata: tiap-tiap perkawinan yang sebelumnya tidak saling mengetahui, biasanya berakhir dengan penyesalan dan gerutu.[3]
Melihat pinangan oleh Agama disunnahkan dan dianjurkan :
1.    Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah Saw bersabda: “Jika seseorang dari kamu mau meminang seseorang perempuan, kalau bisa lihat lebih dulu apa yang menjadi daya tarik untuk mengawininya maka hendaklah dilakukannya.”
Jabir berkata, ”maka akupun meminang seorang perempuan dari Bani Salamah, tetapi sebelumnya saya rahasiakan maksudku itu kepadanya sehingga dapatlah kusaksikan bagian-bagian yang karenanya aku tertarik padanya”.
2.    Dari Mughirah bin Syu’bah: ia pernah meminang seorang perempuan, lalu kata Rasulullah kepadanya: “Sudahkah kau lihat dia?”
Jawabnya: “belum.”
Sabdanya: “Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup
bersamanya lebih langgeng.”
Maksudnya: Agar kamu berdua lebih langgeng di dalam keserasian
berumah tangga. (HR. Nasa’I, Ibnu Majah- dan Tirmidzi, hadist Hasan)
3.    Dari Abu Hurairah, pernah seorang sahabat meminang seorang Anshar, lalu kata Rasulullah kepadanya :“Sudahkah engkau lihat?” Jawabnya: “Belum.” Sabdanya: “Pergilah dan lihatlah dia, karena pada mata orang Anshar ada cacatnya.”
c.       Aturan dalam peminangan
1)      Tempat-tempat yang boleh dilihat
          Jumhur Ulama berpendapat bagian badan yang boleh dilihat yaitu muka dan tapak tangan.Sehingga bisa tahu halus tubuh dan cantiknya.Menurut Abu Daud boleh melihat seluruh tubuh wanitanya.Dan menurut Imam Abu Hanifah boleh melihat telapak tangan, kaki dan wajah. Dan menurut kesimpulannya dari Nabi SAW boleh melihat terlebih dahulu calon Istri yang akan dipinang.[4]
          Hadist-hadist tentang melihat pinangan tidcak menentukan tempat-tempat khusus, bahkan secara umum dikatakannya agar melihat tempat-tempat yang diiinginkan sebagai daya tarik untuk mengawininya.[5]
2)      Perempuan Melihat Laki-laki
          Melihat pinangan itu tidaklah hanya khusus buat laki-laki saja, tetapi perempuan boleh juga. Ia berhak melihat laki-laki yang meminangnya, guna menghetahui hal-hal yang bisa menyebabkan ia tertarik sebagaimana dengan laki-laki melihat faktor-faktor yang menyebabkan ia tertarik.[6]
          Umar berkata: ”janganlah anda nikahkan putri-putri anda dengan seseorang laki-laki yang jelek. Karena hanya dia (laki-laki tersebut) yang merasa senang kepadanya, sedang dia (wanita) tidak menyukainya”
3)      Mengenal sifat-sifatnya
          Dengan melihat, dapat di ketahui cantik atuau jelek nya seorang perempuan. Adapun sifat-sifat yang berlian dengan akhlak, dapatlah diketahui dari sifat lahirnya atau di tanyai.
          Dapat juga bertanya kepada mereka-mereka yang dekat dengannya, atau melalui tetangganya, atau dengan perantaraan menanyai kalangan keluarganya yang sangat di percayainya seperti ibu dan saudara-saudara perempuannya.
          Ghazaly dalam kitab ihya’ mengatakan: “janganlah menanyakan akhlak dan kecantikan perempuan yang akan di pinangnya itu kecuali kepada seseorang yang betul-betul tahu lagi jujur, yang tahu lahir batinnya. Dia bukan orang yang memihak kepadanya sehingga nantinya dia akan memuji dengan berlebih lebihan, dan tidak pula kepada orang yang benci kepadanya sehingga nanti akan menjelek jelekannya”
          Watak adalah sebagai landasan perkawinan, sedangkan di dalam menerangkan watak perempuan calon istri itu ada kalanya dilakukan orang dengan memujinya berlebihan atau mencelanya berlebihan. Orang yang mau  jujur dan adil dalam hal ini jarang sekali, bahkan sering lebih banyak yang mau menipu dan mengicuh. Karena itu bagi orang yang khawatir akan terjatuh pada perempuan yang sebenarnya tidak diinginkannya menjadi istrinya, maka lebih patutlah dia bersikap hati-hati.
d.   Akibat Pembatalan Pinangan
               Sebenarnya pinangan itu semata-mata baru merupakan perjanjian hendak melakukan aqad nikah, bukan berarti sudah terjadi aqad nikah.Dan membatalkannya adalah menjadi hak dari masing-masing pihak yang terjadinya telah mengikat perjanjian.
               Terhadap orang yang menyalahi janjinya, islam tidak menjatuhkan hukuman material, sekalipun perbuatan ini dipandang sangat tercela dan di anggapnya sebagai salah satu dari sifat-sifat kemunafikan, terkecuali kalo ada alasan-alasan yang benar yang menjadi sebab tidak di patuhinya perjanjian tadi.
               Mahar yang telah di berikan oleh peminang kepada peminangannya berhak di minta kembali, bilamana akan nikahnya tidak jadi karena mahar diberikan sebagai ganti & imbalan perkawinan.


[1]Sulaiman Rasjid,. Fiqh Islam. (Jakarta : Attahiriyah, 1954), Hlm. 361.
[2]Ibid.,
[3] Moh Syaifulloh,.Fiqh Islam Lengkap.( Surabaya : Terbit Terang, 2005), Hlm. 476.
[4]Ibid.,477
[5] Sayid Sabig,.Fiqh Sunnah, (Bandung: PT Al- Ma’arif, 1990), Hlm. 41.
[6]Ibid., 42.

Mahar dalam Islam


A.  MAHAR
a.    Pengertian dan Hukum Mahar
Mahar atau maskawin adalah harta pemberian mempelai lelaki kepada mempelai perempuan yang merupakan hak istri dan sunnat disebutkan ketika akad berlangsung.[1]
Firman Allah SWT dalam Al-qur’an An-Nisa ayat 4:
“Dan berikanlah maskawin kepada orang perempuan yang engkau kawini sebagai pemberian yang wajib, tetapi apabila istri itu dengan suka rela menyerahkannya kepada kamu, makanlah pemberiannya itu dengan senang dan baik-baik”
b.    Kadar Maskawin
Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat Islam.Hanya menurut kekuatan suami dan keridhohan istri.Sungguhpun demikian hendaklahsuami sanggup membayarnya. Karena mahar yang telah ditetapkan akan menjadi utang atas suami wajib membayarnya selayaknya hutang, membayarsebanyak mahar yang telah ditetapkan waktu ijab kabul.[2]
Mahar tidak harus berupa benda atau uang, tetapi juga dapat berupa satu hal atau perbuatan yang bermanfaat. Maka tidak ada cacatnya, jika mahar hanya berbentuk cicin dari besi atau berupa mengajarkan Al-Qur’an sebagaimana yang pernah terjadi di kalangan sahabat. Karena Islam mengnginkan terbuakanya keseempatan kawin buat sebanyak mungkin lelaki dan wanita, agar semua dapat terhindar dari berbuatan ma’shiat, dan agar dapat menikmati perkawinan secara halal dan diridhohi oleh Allah.[3]
            Mengenai besarnya mahar terdapat beberapa pendapat, Imam Syafi’I, Ahmad, Ishaq,Abu Tsaur dan beberapa kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sedikit-dikitnya mahar adalah seperempat dirham emas, atau perak seberat tiga dirham timbangan, atau barang yang sebanding dengan tiga dirham tersebut.
            Dan Iman Abu Hanifahberpendapat bahwa sedikit-dikitnya mahar adalah sepuluh dirham. Kemudian ada riwayat lain juga yang menyebutkan lima dirham dan ada juga yang empatpuluh dirham.[4]
c.    Macam-macam mahar
1.    Mahar musamma, mahar yang disebutkan bentuk wujud atau nilainya secara jelas dalam akad. Selanjutnya kewajiban suami untuk memenuhi selama hidupnya atau selama berlangsung perkawinan. Suami wajib membayar mahar tersebut dengan wujud atau nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad perkawinan itu.
2.    Mahar mitsli, mahar yang tidak disebutkan jenis jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan dalam keluarganya.
-       Mahar mitsli diwajibkan dalam tiga kemungkinan:
Pertama, dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar dan jumlahnya.
Kedua, suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah miras.
Ketiga, suami ada menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.



[1]Proyek Pembinaan dan Sarana IAIN, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Departemen Agama, 1985), hlm 109
[2]Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1976), hlm 373
[3] Moh Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya : Terbit Terang, 2005), hlm 492
[4] Ibnu Rusy, Tarjamah Bidayatul Mujtahid II, hlm 386