Sabtu, 19 Januari 2013

Perbandingan sejarah G30S/PKI versi Pemerintah dan film dokumenter “Shadow Play”


Peristiwa G30S/PKI merupakan sejarah yang belum jelas kebenarannnya hingga saat ini. Setelah jatuhnya posisi kekuasaan Soeharto, sejarah kebenaran peristiwa G30S/PKI mulai dipertanyakan oleh banyak pihak dikarenakan orang-orang saksi mulai berani angkat bicara tentang peristiwa yang mereka alami pada saat itu. Pada tahun awal 1965 gambaran ibu kota sangat memprihatinkan, yang membuat rakyat lelah. Isu kudeta meluas ditengah inflasi yang kian hari meroket. Kebutuhan pokok sangat susah untuk didapatkan, dan rupiahpun tidak ada harganya. Peristiwa G30S/PKI merupakan noktah sejarah bangsa Indonesia yang tidak bisa dilupakan, dengan banyaknya korban terbayar yaitu 7 perwira Angkatan Darat serta ratusan ribu rakyat Indonesia yang disebut simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dari peristiwa itu, hal ini juga membuat Soekarno terseret dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia (RI). Namun hingga saat ini dirasakan oleh berbagai pihak sejarah peristiwa G30S/PKI yang beredar pada masa Soeharto ada banyak kejanggalan. Oleh karena itu banyak versi dari sejarah peristiwa ini. Salah satunya adalah film dokumenter berjudul Shadow Play diproduksi tahun 2001 oleh Hilton Cordell Production. Walaupun pemerintah telah menerbitkan buku resmi sejarah peristiwa G30S/PKI pada tahun 1994.

            Dalam buku yang di terbitkan oleh pemerintah (sekretariat negara) yang disebut sebagai buku putih yang berjudul “Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya”. Secara jelas, buku tersebut menyebutkan bahwa PKI-lah yang menjadi pelaku utama. Versi ini menjadi “the final and the whole truth” serta haram untuk dibantah selama puluhan tahun. Bahkan dalam masa orde baru Soeharto puluhan tahun setiap tanggal 30 September selalu ada tayangan film Pemberontakan G30S/PKI di stasiun telivisi nasional. Kemudian juga wajib di tonton pelajar yang kemudian di buat tugas resensinya.
            Awalnya menurut buku tersebut, dalam rangka mendiskreditkan TNI-AD (yang di- anggap sebagai musuh oleh PKI), PKI melancarkan isu Dewan Jenderal. Dikatakan bahwa “Dewan Jenderal” terdiri atas sejumlah Jenderal TNI-AD, seperti Jend. A.H. Nasution, Letjen Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, dan lima jenderal lainnya yang dianggap anti PKI. Kemudian disebarkan isu bahwa Dewan Jenderal akan mengkudeta Presiden Soekarno. Isu ini semakin dikuatkan oleh Dokumen Gilchrist, Gilchrist sendiri merupakan Duta Besar Inggris untuk Indonesia yang bertugas 1963 – 1966.  Dokumen itu sendiri di dalamnya terdapat tulisan our local army friend, pada intinya memberikan kesan bahwa TNI-AD bekerjasama dengan Inggris, yang pada waktu itu dika- tegorikan sebagai salah satu kekuatan Nekolim. Oleh Dr.Soebandrio dokumen itu diberikan kepada Soekarno sehingga pada 27 Mei 1965 Soekarno mengumpulkan seluruh panglima angkatan di Istana Bogor untuk tujuan klarifikasi. Klarifikasi terutama ditujukan untuk Letjen Yani sebagai Men/Pangad, dan Letjen Yani membantahnya. 
Pada akhir Agustus sampai dengan akhir September 1965, Biro Khusus Central PKI secara maraton mengadakan pertemuan-pertemuan yang kesimpulannya dilapor-kan kepada Ketua CC PKI D.N.Aidit, yang saat itu juga menjabat Menteri Koordinator di da-lam Kabinet Dwikora. Pertemuan dan rapat-rapat tersebut membicarakan kesiapan gerakan pemberontakan, terutama kesiapan secara militer. Kemudian komando di lapangan gerakan tersebut dikomandani Letkol. Untung, Untung sendiri merupakan Dan Yon Pengawal Presiden.  Pada tanggal 28 September 1965, Sjam selaku Kepala Biro Khusus Central PKI mela-or kepada D.N. Aidit bahwa penentuan Hari-H dan Jam-J tanggal 30 September pukul 04.00 dan disetujui. Sementara sasaran utama gerakan yaitu Jend. A.H. Nasution, Letjen. Ahmad Yani, Mayjen Haryono MT, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutojo S. perintah gerakan itu yaitu menagkap hidup/mati para perwira TNI tersebut.
Diceriterakan betapa kejamnya aksi penculikan yang dilakukan oleh gerakan ini. Be-rapa jenderal telah ditembak mati duluan di kediamannya seperti yang dialami Letjen Yani, Mayjen Haryono, dan Brigjen Panjaitan. Sementara yang lainnya disiksa habisa-habisan dahulu sebelum ditembak jatuh ke sumur, mereka ini yaitu Mayjen Soeprapto, Mayjen Parman, Brigjen Sutojo, dan Lettu Tandean. Seluruh korban penculikan di bawa ke Lubang Buaya, Pondok Gede dan diserahkan kepada pimpinan Pasukan Gatotkaca Lettu. Dul Arief. Mayjen Soeharto sebagai Pangkostrad mempunyai keyakinan bahwa gerakan tersebut merupakan gerakan PKI yang bertujuan menggulingkan dan merebut kekuasaan dari Peme-rintah Republik Indonesia yang sah. Yang selanjutnya oleh Soeharto gerakan ini disebut se-bagai Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Pangkostrad berhasil menguasai kembali alat-alat vital negara seperti Kantor RRI dan Telkom, yang sempat dikua-sai oleh G30S, pada tanggal 1 Oktober pukul 19.00. 
Mayjen Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan sementara AD menggganti-kan Letjen Yani. Dengan kekuasaan AD yang ada di tangannya Soeharto melakukan perlawa-nan langsung terhadap G30S sampaai keesokan harinya. Sampai tanggal 2 Oktober pukul 14.00 pasukan pendukung G30S menghentikan perlawanannya dan melarikan diri ke daerah Pondok Gede. Dengan hancurnya kekuatan fisik G30S di ibukota, operasi selanjutnya dilanjutkan untuk mencari para korban penculikan. Dalam versi yang diterbitkan oleh pemerintah terlihat jelas upaya mewujudkan opini publik tentang betapa besar jasa Mayjen. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad. 

Lain halnya dalam film produksi th 2001 oleh Hilton Cordell Productions yang berjudul “Shadow Play”. Shadow Play berusaha mengungkapkan tragedi kemanusiaan abad 20, yang dianggap disembunyikan oleh Soeharto dan pengikutnya. Soeharto menyebarkan fitnah dan propaganda yang efektif untuk kelancaran program pembunuhan para pendukung Soekarno, plus propaganda agar tragedi tersebut dimaklumi, tanpa penegakan hukum. Antara 500,000 dan 1 juta orang telah dibunuh dalam waktu yang singkat. Dalam film ini, saksi menyebutkan bahwa komandan program pembunuhan bahkan pernah menyatakan dengan bangga, bahwa sebanyak 3 juta orang yang telah dibunuh. Ratusan ribu lainnya, ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan. Keluarganya dikucilkan dan hidup tercela, terhina. “Shadow Play” menganggap sejarah yang dipublikasikan orde Soeharto adalah hasil dimanipulasi agar rakyat Indonesia tidak mampu untuk kritis terhadap peradabannya sendiri. “Shadow Play” mengungkapkan bahwa peristiwa tragis th 1965 bukanlah berdalangkan Partai Komunis Indonesia (PKI) namun ada hubungannya dengan perang konflik dingin antara Amerika, Inggris (wakil barat), Uni Soviet dan China (wakil timur). Pada saat itu Soekarno sebagai presiden Republik Indonesia memilih menjadi negara Non Blok itu pilihan yang tepat sebagai negara baru agar mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Setelah berkunjung ke Amerika serikat dan disambut baik, tiga bulan kemudian Soekarno berkunjung ke China dan ini dianggap hal buruk oleh Barat, Soekarno dianggap telah berpihak pada Timur dan ini berbahaya bagi barat sehingga barat menganggap Soekarno harus disingkirkan. Central Intelligence Agency (CIA) memprakarsai pemberontakan di Sumatra Utara yang kemudian tercium oleh Soekarno dan ia mengadu pada PBB.
Semakin dianggap berbahaya, saat Soekarno melegalkan Partai komunis Indonesia (PKI) di Indonesia dan sempat memenangi pemilu 1955. Kemudian Di bagian ini akan diceritrakan G30S bukanlah gerakan yang berada di bawah kendali sebagai partai seperti yang dikatakan Soeharto. Walaupun memang ada orang-orang PKI yang terbukti terlibat di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung. Ini merupakan desainan Amerika Serikat melalui lembaga CIA- nya, dan PKI dijadikan kambing hitamnya. Ditambah dengan konflik intern di dalam tubuh AD antara pihak yang anti-Soekarno seperti Jend. Nasution dan Mayjen Soeharto, dengan yang pro-Soekarno seperti Letjen Yani.
Sebelum tahun 1965 sebenarnya CIA telah seringkali mencoba melakukan kudeta terhadap Soekarno dengan berbagai cara. Seperti membuat video asusila Soekarno dengan wanita, selain itu upaya menjatuhkan Soekarno dengan cara pembunuhan, yang didalangi CIA. Namun tetap tidak berhasil. 
Dalam kasus G30S, “Shadow Play” mengungkapkan bahwa ada main mata antara TNI-AD dan CIA, dengan beberapa bukti membenarkan itu. Satu di antara bukti itu yaitu adanya satu telegram dari Kedubes AS di Jakarta yang masuk ke Deplu AS di Washington tanggal 21 Januari 1965. Isinya informasi pertemuan pejabat teras AD pada hari itu, dalam pertemuan itu salah satu perwira tinggi AD yang hadir bahwa adanya rencana pengambilalihan kekuasaan jika Soekarno berhalangan.  Kapan rencana ini akan dijalankan, bergantung pada keadaan konflik yang sedang dibangun beberapa pecan ke depan. Dalam 30 atau 60 hari kemudian AD akan menyapu PKI. Telegram menyebutkan beberapa perwira tinggi lain yang hadir malah menghendaki agar rencana itu dijalankan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.
Dalam film ini, menekankan bahwa sesungguhnya persamaan persepsi antara pimpinan teras AD mengenai PKI, akhirnya berbenturan pada loyalitas terhadap Soekarno. Yang oleh sebagian jenderal Soekarno terlalu lunak dan selalu melindungi PKI yang dapat merusakan persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga jenderal-jenderal yang anti-Soekarno mendekati AS yang telah diketahui telah lama ingin menggulingkan Soekarno dan PKI. 
Hal yang tidak masuk akal terungkap dalam sejarah versi pemerintah yaitu, untuk apa PKI mengadakan kudeta terhadap Soekarno padahal posisinya Indonesia aman-aman saja dengan perlindungan Soekarno. Dalam sejarah versi pemerintah, PKI dibuat dengan citra yang buruk, citra golongan orang tak bertuhan, asusila, kejam dan sadis. Ini digambarkan sejarah dengan penemuan jenazah 6 purnawirawan TNIAD dengan kondisi jenazah yang mengenaskan dengan sejumlah luka sayatan dan rokok serta penis yang terpotong. Padahal ada saksi ahli forensik yang ada di TKP pada saat itu tidak melihat hal-hal yang di ungkapkan di media publik tentang kondisi jenazah. Ini salah satu cara Soeharto untuk menjelekkan citra PKI. Kemudian dalam film ini juga mengatakan betapa kejamnya Soeharto dan rezimnya yang atas nama memberantas pemberontakan PKI dengan membunuh ratusan ribu simpatisan PKI dengan kejam lalu dikuburkan seperti hewan ditumpuk-tumpuk dengan tidak layak secara masal dan menahan tahanan politik tanpa diadili selama bertahun-tahun.

            Dari dua versi sejarah yaitu dari Pemerintah dan dari film “Shadow Play” sangatlah berbeda jauh. Sejarah pemerintah jelas-jelas terlihat pro terhadap Soeharto dan dan film “Shadow Play” menunjukkan pro terhadap Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hingga saat ini saya tidak mengerti mana kebenaran yang terjadi pada masa itu, karena data-data yang ada pada saat ini bisa saja semua telah dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Tapi yang saya dapat temukan terdapat kejanggalan dalam sejarah versi pemerintah, kenapa Jendral Purnawirawan TNI AD yang diculik dan dibunuh tidak termasuk Soeharto, padahal Soeharto juga termasuk orang penting di TNI AD yang anti-Komunis dibawah pimpinan Jendral A.Yani di Kodam Dipenogoro. Mungkin saja ini dikarenakan ada konspirasi Soeharto dibalik ini semua yang tidak puas terhadap pimpinan Jendral A.Yani yang lemah terhadap PKI dan loyal tingginya terhadap Presiden Soekarno. Kemudian sama halnya yang diungkapkan dengan film dokumenter “Shadow Play”, saya mempertanyakan untuk apa PKI mengadakan kudeta padahal pada saat itu posisinya aman dibawah kebijakan Soekarno. Saya juga menemukan data dalam sebuah web bahwa ada sejarawan LIPI Asvi Warman Adam mencatat, kalau buku putih itu dibaca dengan seksama, akan diperoleh kesimpulan yang tentu tidak diharapkan oleh pembuatnya. Terdapat indeks nama sebanyak 306 orang tokoh dalam buku itu. Presiden Soekarno disebut 128 kali, dua tokoh PKI (Aidit dan Syam, 77 kali), dan dua kubu perwira ABRI (107 kali). “Dalam ‘indeks kata penting’, tiga kata yang paling sering muncul adalah 1) Gerakan Tiga Puluh September, 2) Dewan Revolusi, 3) Dewan Jenderal. Sedangkan kata ‘PKI’ hanya disebut dua kali. Jadi, buku ini berbicara lebih tentang tokoh PKI (atau menurut istilah Orde Baru, oknum), yaitu Aidit dan Syam, ketimbang mengenai PKI sebagai sebuah organisasi sosial-politik. Ini adalah suatu contoh bentuk upaya membentuk opini yang berbeda dari PKI yang sesungguhnya sebagai organisasi sosial-politik bukan organisasi non agama yang tidak beradab seperti yang digambarkan dalah sejarah pemerintah Soeharto.
Bukan hanya itu, saya ingin sedikit mengkritik kebijakan Soekarno pada saat itu yang sangat mendukung PKI (Partai Komunis Indonesia) sehingga menjadi partai besar, padahal PKI ini adalah ideologi dari Blok Timur (Uni Soviet dan China). Kenapa Soekarno tidak menetapkan diri sebagai negara Non Blok sebagai awal kebijakannya pada awal kemerdekaan dan meningkatkan nasionalisme bangsa Indonesia sendiri. Kebijakan Soekarno untuk melegalkan PKI dan mendukungnya merupakan kebijakan yang menurut saya salah karena itu sama saja melawan Blok Barat yang jelas berbahaya bagi kita pada saat itu sebagai bangsa baru merdeka. Dalam hal ini secara tidak langsung Soekarno juga telah memilih pro Blok Timur (Uni Soviet dan China) dan mengingkari kebijakan awalnya yaitu negara Non Blok.

Referensi :
·         http://kageri.blogdetik.com/2010/09/29/5-versi-utama-peristiwa-g30s/ (diakses 27 oktober 2012)
·         http://blackfiles.mywapblog.com/pki3.xhtml (diakses 26 oktober 2012)
·         Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, 1994, Sekretariat Negara RI: Jakarta. Ekamara Ananami Putra

3 komentar:

  1. orde lama tlah berlalu orde baru barusan berlalu, kita lupakan sejarah keduanya kita bikin sejarah baru, sejarah reformasi

    BalasHapus
  2. Duh font nya bikin mata sakit mbak

    BalasHapus
  3. fontnya tolong diperbaiki. terlalu dempet dan kecil.

    BalasHapus

Terima kasih sudah membaca artikel ini ^_^ Silahkan memberi komentar dengan kata-kata yang sopan. Harap tidak memberi komentar dengan kata-kata kasar ^_^