Peristiwa G30S/PKI merupakan sejarah yang
belum jelas kebenarannnya hingga saat ini. Setelah jatuhnya posisi kekuasaan
Soeharto, sejarah kebenaran peristiwa G30S/PKI mulai dipertanyakan oleh banyak
pihak dikarenakan orang-orang saksi mulai berani angkat bicara tentang
peristiwa yang mereka alami pada saat itu. Pada tahun awal 1965 gambaran ibu kota
sangat memprihatinkan, yang membuat rakyat lelah. Isu kudeta meluas ditengah
inflasi yang kian hari meroket. Kebutuhan pokok sangat susah untuk didapatkan,
dan rupiahpun tidak ada harganya. Peristiwa G30S/PKI merupakan noktah sejarah
bangsa Indonesia yang tidak bisa dilupakan, dengan banyaknya korban terbayar
yaitu 7 perwira Angkatan Darat serta ratusan ribu rakyat Indonesia yang disebut
simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dari peristiwa itu, hal ini juga
membuat Soekarno terseret dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia
(RI). Namun hingga saat ini dirasakan oleh berbagai pihak sejarah peristiwa
G30S/PKI yang beredar pada masa Soeharto ada banyak kejanggalan. Oleh karena
itu banyak versi dari sejarah peristiwa ini. Salah satunya adalah film
dokumenter berjudul Shadow Play diproduksi tahun 2001 oleh Hilton Cordell
Production. Walaupun pemerintah telah menerbitkan buku resmi sejarah peristiwa
G30S/PKI pada tahun 1994.
Dalam
buku yang di terbitkan oleh pemerintah (sekretariat negara) yang disebut
sebagai buku putih yang berjudul “Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai
Komunis, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya”. Secara jelas, buku tersebut
menyebutkan bahwa PKI-lah yang menjadi pelaku utama. Versi ini menjadi “the
final and the whole truth” serta haram untuk dibantah selama puluhan tahun.
Bahkan dalam masa orde baru Soeharto puluhan tahun setiap tanggal 30 September
selalu ada tayangan film Pemberontakan G30S/PKI di stasiun telivisi nasional.
Kemudian juga wajib di tonton pelajar yang kemudian di buat tugas resensinya.
Awalnya menurut buku
tersebut, dalam rangka mendiskreditkan TNI-AD (yang di- anggap sebagai musuh
oleh PKI), PKI melancarkan isu Dewan Jenderal. Dikatakan bahwa “Dewan Jenderal”
terdiri atas sejumlah Jenderal TNI-AD, seperti Jend. A.H. Nasution, Letjen
Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, dan lima jenderal lainnya yang dianggap anti PKI.
Kemudian disebarkan isu bahwa Dewan Jenderal akan mengkudeta Presiden Soekarno.
Isu ini semakin dikuatkan oleh Dokumen Gilchrist, Gilchrist sendiri merupakan
Duta Besar Inggris untuk Indonesia yang bertugas 1963 – 1966. Dokumen itu
sendiri di dalamnya terdapat tulisan our local army friend, pada intinya
memberikan kesan bahwa TNI-AD bekerjasama dengan Inggris, yang pada waktu itu
dika- tegorikan sebagai salah satu kekuatan Nekolim. Oleh Dr.Soebandrio dokumen
itu diberikan kepada Soekarno sehingga pada 27 Mei 1965 Soekarno mengumpulkan
seluruh panglima angkatan di Istana Bogor untuk tujuan klarifikasi. Klarifikasi
terutama ditujukan untuk Letjen Yani sebagai Men/Pangad, dan Letjen Yani
membantahnya.
Pada akhir Agustus sampai dengan akhir
September 1965, Biro Khusus Central PKI secara maraton mengadakan
pertemuan-pertemuan yang kesimpulannya dilapor-kan kepada Ketua CC PKI
D.N.Aidit, yang saat itu juga menjabat Menteri Koordinator di da-lam Kabinet
Dwikora. Pertemuan dan rapat-rapat tersebut membicarakan kesiapan gerakan
pemberontakan, terutama kesiapan secara militer. Kemudian komando di
lapangan gerakan tersebut dikomandani Letkol. Untung, Untung sendiri merupakan
Dan Yon Pengawal Presiden. Pada tanggal 28 September 1965, Sjam selaku
Kepala Biro Khusus Central PKI mela-or kepada D.N. Aidit bahwa penentuan Hari-H
dan Jam-J tanggal 30 September pukul 04.00 dan disetujui. Sementara sasaran
utama gerakan yaitu Jend. A.H. Nasution, Letjen. Ahmad Yani, Mayjen Haryono MT,
Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutojo
S. perintah gerakan itu yaitu menagkap hidup/mati para perwira TNI
tersebut.
Diceriterakan betapa kejamnya aksi
penculikan yang dilakukan oleh gerakan ini. Be-rapa jenderal telah ditembak
mati duluan di kediamannya seperti yang dialami Letjen Yani, Mayjen Haryono,
dan Brigjen Panjaitan. Sementara yang lainnya disiksa habisa-habisan dahulu
sebelum ditembak jatuh ke sumur, mereka ini yaitu Mayjen Soeprapto, Mayjen
Parman, Brigjen Sutojo, dan Lettu Tandean. Seluruh korban penculikan di bawa ke
Lubang Buaya, Pondok Gede dan diserahkan kepada pimpinan Pasukan Gatotkaca
Lettu. Dul Arief. Mayjen Soeharto sebagai Pangkostrad mempunyai keyakinan
bahwa gerakan tersebut merupakan gerakan PKI yang bertujuan menggulingkan dan
merebut kekuasaan dari Peme-rintah Republik Indonesia yang sah. Yang
selanjutnya oleh Soeharto gerakan ini disebut se-bagai Gerakan 30 September/Partai
Komunis Indonesia (G30S/PKI). Pangkostrad berhasil menguasai kembali alat-alat
vital negara seperti Kantor RRI dan Telkom, yang sempat dikua-sai oleh G30S,
pada tanggal 1 Oktober pukul 19.00.
Mayjen Soeharto mengangkat dirinya
sebagai pimpinan sementara AD menggganti-kan Letjen Yani. Dengan kekuasaan AD
yang ada di tangannya Soeharto melakukan perlawa-nan langsung terhadap G30S
sampaai keesokan harinya. Sampai tanggal 2 Oktober pukul 14.00 pasukan
pendukung G30S menghentikan perlawanannya dan melarikan diri ke daerah Pondok
Gede. Dengan hancurnya kekuatan fisik G30S di ibukota, operasi selanjutnya
dilanjutkan untuk mencari para korban penculikan. Dalam versi yang
diterbitkan oleh pemerintah terlihat jelas upaya mewujudkan opini publik
tentang betapa besar jasa Mayjen. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai
Pangkostrad.
Lain halnya dalam film produksi th 2001 oleh Hilton Cordell Productions yang berjudul “Shadow Play”.
Shadow Play berusaha mengungkapkan tragedi kemanusiaan abad 20, yang dianggap disembunyikan
oleh Soeharto dan pengikutnya. Soeharto menyebarkan fitnah dan propaganda yang
efektif untuk kelancaran program pembunuhan para pendukung Soekarno, plus
propaganda agar tragedi tersebut dimaklumi, tanpa penegakan hukum. Antara
500,000 dan 1 juta orang telah dibunuh dalam waktu yang singkat. Dalam film
ini, saksi menyebutkan bahwa komandan program pembunuhan bahkan pernah
menyatakan dengan bangga, bahwa sebanyak 3 juta orang yang telah dibunuh.
Ratusan ribu lainnya, ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan. Keluarganya
dikucilkan dan hidup tercela, terhina. “Shadow Play” menganggap sejarah yang
dipublikasikan orde Soeharto adalah hasil dimanipulasi agar rakyat Indonesia
tidak mampu untuk kritis terhadap peradabannya sendiri. “Shadow Play”
mengungkapkan bahwa peristiwa tragis th 1965 bukanlah berdalangkan Partai
Komunis Indonesia (PKI) namun ada hubungannya dengan perang konflik dingin
antara Amerika, Inggris (wakil barat), Uni Soviet dan China (wakil timur). Pada
saat itu Soekarno sebagai presiden Republik Indonesia memilih menjadi negara
Non Blok itu pilihan yang tepat sebagai negara baru agar mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak. Setelah berkunjung ke Amerika serikat dan disambut baik,
tiga bulan kemudian Soekarno berkunjung ke China dan ini dianggap hal buruk
oleh Barat, Soekarno dianggap telah berpihak pada Timur dan ini berbahaya bagi
barat sehingga barat menganggap Soekarno harus disingkirkan. Central
Intelligence Agency (CIA) memprakarsai pemberontakan di Sumatra Utara yang
kemudian tercium oleh Soekarno dan ia mengadu pada PBB.
Semakin dianggap
berbahaya, saat Soekarno melegalkan Partai komunis Indonesia (PKI) di Indonesia
dan sempat memenangi pemilu 1955. Kemudian Di bagian ini akan diceritrakan G30S
bukanlah gerakan yang berada di bawah kendali sebagai partai seperti yang
dikatakan Soeharto. Walaupun memang ada orang-orang PKI yang terbukti terlibat
di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung. Ini merupakan desainan
Amerika Serikat melalui lembaga CIA- nya, dan PKI dijadikan kambing hitamnya.
Ditambah dengan konflik intern di dalam tubuh AD antara pihak yang
anti-Soekarno seperti Jend. Nasution dan Mayjen Soeharto, dengan yang
pro-Soekarno seperti Letjen Yani.
Sebelum tahun 1965 sebenarnya CIA telah
seringkali mencoba melakukan kudeta terhadap Soekarno dengan berbagai cara. Seperti
membuat video asusila Soekarno dengan wanita, selain itu upaya menjatuhkan Soekarno
dengan cara pembunuhan, yang didalangi CIA. Namun tetap tidak berhasil.
Dalam kasus G30S, “Shadow Play” mengungkapkan
bahwa ada main mata antara TNI-AD dan CIA, dengan beberapa bukti membenarkan
itu. Satu di antara bukti itu yaitu adanya satu telegram dari Kedubes AS di
Jakarta yang masuk ke Deplu AS di Washington tanggal 21 Januari 1965. Isinya
informasi pertemuan pejabat teras AD pada hari itu, dalam pertemuan itu salah
satu perwira tinggi AD yang hadir bahwa adanya rencana pengambilalihan
kekuasaan jika Soekarno berhalangan. Kapan rencana ini akan dijalankan,
bergantung pada keadaan konflik yang sedang dibangun beberapa pecan ke depan.
Dalam 30 atau 60 hari kemudian AD akan menyapu PKI. Telegram menyebutkan beberapa
perwira tinggi lain yang hadir malah menghendaki agar rencana itu dijalankan
tanpa menunggu Soekarno berhalangan.
Dalam film ini, menekankan bahwa
sesungguhnya persamaan persepsi antara pimpinan teras AD mengenai PKI, akhirnya
berbenturan pada loyalitas terhadap Soekarno. Yang oleh sebagian jenderal Soekarno
terlalu lunak dan selalu melindungi PKI yang dapat merusakan persatuan dan
kesatuan bangsa. Sehingga jenderal-jenderal yang anti-Soekarno mendekati AS
yang telah diketahui telah lama ingin menggulingkan Soekarno dan PKI.
Hal yang tidak masuk akal terungkap
dalam sejarah versi pemerintah yaitu, untuk apa PKI mengadakan kudeta terhadap
Soekarno padahal posisinya Indonesia aman-aman saja dengan perlindungan
Soekarno. Dalam sejarah versi pemerintah, PKI dibuat dengan citra yang buruk,
citra golongan orang tak bertuhan, asusila, kejam dan sadis. Ini digambarkan
sejarah dengan penemuan jenazah 6 purnawirawan TNIAD dengan kondisi jenazah
yang mengenaskan dengan sejumlah luka sayatan dan rokok serta penis yang
terpotong. Padahal ada saksi ahli forensik yang ada di TKP pada saat itu tidak
melihat hal-hal yang di ungkapkan di media publik tentang kondisi jenazah. Ini
salah satu cara Soeharto untuk menjelekkan citra PKI. Kemudian dalam film ini
juga mengatakan betapa kejamnya Soeharto dan rezimnya yang atas nama
memberantas pemberontakan PKI dengan membunuh ratusan ribu simpatisan PKI
dengan kejam lalu dikuburkan seperti hewan ditumpuk-tumpuk dengan tidak layak
secara masal dan menahan tahanan politik tanpa diadili selama bertahun-tahun.
Dari
dua versi sejarah yaitu dari Pemerintah dan dari film “Shadow Play” sangatlah
berbeda jauh. Sejarah pemerintah jelas-jelas terlihat pro terhadap Soeharto dan
dan film “Shadow Play” menunjukkan pro terhadap Soekarno dan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Hingga saat ini saya tidak mengerti mana kebenaran yang
terjadi pada masa itu, karena data-data yang ada pada saat ini bisa saja semua
telah dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Tapi yang saya dapat
temukan terdapat kejanggalan dalam sejarah versi pemerintah, kenapa Jendral
Purnawirawan TNI AD yang diculik dan dibunuh tidak termasuk Soeharto, padahal
Soeharto juga termasuk orang penting di TNI AD yang anti-Komunis dibawah
pimpinan Jendral A.Yani di Kodam Dipenogoro. Mungkin saja ini dikarenakan ada
konspirasi Soeharto dibalik ini semua yang tidak puas terhadap pimpinan Jendral
A.Yani yang lemah terhadap PKI dan loyal tingginya terhadap Presiden Soekarno.
Kemudian sama halnya yang diungkapkan dengan film dokumenter “Shadow Play”,
saya mempertanyakan untuk apa PKI mengadakan kudeta padahal pada saat itu
posisinya aman dibawah kebijakan Soekarno. Saya juga
menemukan data dalam sebuah web bahwa ada sejarawan LIPI Asvi Warman Adam
mencatat, kalau buku putih itu dibaca dengan seksama, akan diperoleh kesimpulan
yang tentu tidak diharapkan oleh pembuatnya. Terdapat indeks nama sebanyak 306
orang tokoh dalam buku itu. Presiden Soekarno disebut 128 kali, dua tokoh PKI
(Aidit dan Syam, 77 kali), dan dua kubu perwira ABRI (107 kali). “Dalam ‘indeks
kata penting’, tiga kata yang paling sering muncul adalah 1) Gerakan Tiga Puluh
September, 2) Dewan Revolusi, 3) Dewan Jenderal. Sedangkan kata ‘PKI’ hanya
disebut dua kali. Jadi, buku ini berbicara lebih tentang tokoh PKI (atau
menurut istilah Orde Baru, oknum), yaitu Aidit dan Syam, ketimbang mengenai PKI
sebagai sebuah organisasi sosial-politik. Ini adalah suatu contoh bentuk upaya
membentuk opini yang berbeda dari PKI yang sesungguhnya sebagai organisasi
sosial-politik bukan organisasi non agama yang tidak beradab seperti yang
digambarkan dalah sejarah pemerintah Soeharto.
Bukan hanya itu, saya ingin sedikit
mengkritik kebijakan Soekarno pada saat itu yang sangat mendukung PKI (Partai
Komunis Indonesia) sehingga menjadi partai besar, padahal PKI ini adalah
ideologi dari Blok Timur (Uni Soviet dan China). Kenapa Soekarno tidak
menetapkan diri sebagai negara Non Blok sebagai awal kebijakannya pada awal
kemerdekaan dan meningkatkan nasionalisme bangsa Indonesia sendiri. Kebijakan
Soekarno untuk melegalkan PKI dan mendukungnya merupakan kebijakan yang menurut
saya salah karena itu sama saja melawan Blok Barat yang jelas berbahaya bagi
kita pada saat itu sebagai bangsa baru merdeka. Dalam hal ini secara tidak
langsung Soekarno juga telah memilih pro Blok Timur (Uni Soviet dan China) dan mengingkari
kebijakan awalnya yaitu negara Non Blok.
Referensi :
·
http://blackfiles.mywapblog.com/pki3.xhtml
(diakses 26 oktober 2012)
·
Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis
Indonesia, 1994, Sekretariat Negara RI: Jakarta. Ekamara Ananami Putra
orde lama tlah berlalu orde baru barusan berlalu, kita lupakan sejarah keduanya kita bikin sejarah baru, sejarah reformasi
BalasHapusDuh font nya bikin mata sakit mbak
BalasHapusfontnya tolong diperbaiki. terlalu dempet dan kecil.
BalasHapus