BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wali
Songo adalah nama yang tidak asing dikalangan masyarakat Indonesia, Terutama
masyarakat Islam yang tinggal di Pulau Jawa. Wali Songo adalah nama yang
sakral, sejak zaman dahulu hingga zaman sekarang makam-makam anggota Wali songo
banyak diziarahi orang. Anehnya, meskipun orang sudah berkali-kali berziarah ke
makam Wali songo tapi tidak banyak yang mengetahui riwayat anggota Wali Songo
itu sendiri.
Umumnya
kita mengenal Wali Songo hanyalah
sembilan orang yaitu: Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan
Gunung Jati. Sebenarnya Wali Songo adalah nama suatu dewan da’wah atau dewan
mubaligh. Apabila salah seorang dari dewan tersebut pergi atau meninggal dunia
maka akan segera diganti oleh Wali lainnya. Seperti tersebut dalam Kitab Kanzul
Ulum Ibnul Bathuthah yang penulisannya dilanjutkan oleh Syeh Maulana
Al-Maghrobi, Wali Songo melakukan sidang tiga kali yaitu:
Tahun
1404 M adalah sembilan wali
Tahun
1463 M masuk tiga kali mengganti yang wafat
Tahun
1463 M masuk empat wali mengganti yang wafat dan pergi
Menurut KH. Dachlan
Abd. Qohar, pada tahun 1466 M, Walisanga melakukan sidang lagi membahas
berbagai hal. Diantaranya adalah Syeh Siti Jenar, meninggalnya dua orang wali
yaitu Maulana Muhammad Al-Maghrobi dan Maulana Ahmad Jumadil Qubro serta
masuknya dua orang wali menjadi anggota WaliSanga. [1]
Aliran-aliran
sufi di Indonesia diawali atau dimulai ada sejak zaman Wali songo (wali yang sembilan).
Pada masa ini tasawuf mengalami perkembangan yang cukup pesat di Indonesia.
Wali songo (sembilan wali) yang merupakan pelopor dan pengembangan agama Islam
(Islamisasi) di pulau jawa pada abad ke-15. Perkembangan tasawuf sudah dimulai
sejak zaman/masa Rasulullah. Kemudian pada sahabat dan terus berkembang hingga
pada periode perkembangan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
saja dan bagaimana perkembangan aliran-aliran sufi di Indonesia ?
2.
Apa
saja Aliran Tasawuf yang berkembang di Indonesia ?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui aliran-aliran sufi di Indonesia serta perkembangannya
2.
Dapat
mengetahui aliran tasawuf yang berkembang di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran-Aliran
Sufi Di Indonesia
- Wali Songo
Wali Songo di periode Pertama
yaitu, pada waktu Sultan Muhammad 1 memerintah kerajaan Turki, beliau
menanyakan perkembangan agama islam kepada para pedagang dari Gujarat (India).
Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di pulau Jawa ada dua kerajaan
Hindu yaitu Majapahit dari Pajajaran. Diantara rakyatnya ada yang beragama
islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para
penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Sang Sultan kemudian
mengirim surat kepada para pembesar islam di Aftika Utara dan Timur Tengah.
Isinya meminta para ulama’ yang mempunyai karomah dikirim ke Pulau Jawa. Maka
terkumpullah sembilan ulama’ berilmu tinggi serta mempunyai karomah.
Pada tahun 808 Hijriyah atau 1404 Masehi
para ulama’ itu berangkat ke pulau Jawa. Mereka adalah :
a. Maulana
Malik Ibrahim, berasl dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian
Timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Kurang lebih satu kilo meter
disebelah utara Pabrik Semen Gresik.
b. Maulana
Ishaq, beasal dari Samarkan (dekat Burhara, Rusia Selatan). Beliau ahli
pengobatan. Tetapi Syekh Maulan Ishaq tidak menetap di Jawa, Beliau pindah ke
Singapura (Pasai) dan wafat disana.
c. Maulana
Ahmad Jumadil Kubro, berasal dari Mesir, Beliau berdakwah keliling, Makamnya di
Troloyo, Trowulen, Mojokerto Jawa Timur.
d. Maulana
Muhammad Al-Maghrobi, berasal dari Maghrib (Maroko). Beliau berdakwah keliling.
Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah.
e. Maulana
Malik Isro’il, berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M.
Makamnya di Gunung Santri, Cilegon antara Serang-Merak, Jawa Barat.
f. Maulana
Muhammad Malik Akbar, berasal dari Persia(Iran). Ahli pengobatan, wafat tahun
1435 M, Makamnya di Gunung Santri.
g. Maulana
Hasanuddin, berasal dari Palestina, berdakwah keliling, wafat tahun 1462 M.
Makamnya di samping Masjid Banten Lama.
h. Maulana
Aliyuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling, wafat tahun 1462 M.
Makamnya di samping Masjid Banten Lama.
i. Syekh
Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin-jin
jahat tukang menyesatkan manusia, dengan adanya tumbal itu jin-jin tadi akan
menyingkir dan tanah yang ditumbali dijadikan pesantren, setelah banyak tempat
yang ditumbali maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M. Dan
wafat disana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh meninggal dunia ketika
beristirahat di daerah Blitar. Hingga sekarang makam pengikut Syekh Subakir
tersebut ada di sebelah Utara Pemandian Penataran Blitar, Jawa Timur. Disana
ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.
Wali Songo periode Kedua
ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat, ketiganya
adalah :
a. Raden
Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 menggantikan Malik
Ibrahim yang wafat pada tahun 1419, raden Rahmat berasal dari Cempa-Muangthai
Selatan.
b. Sayyid
Ja’far Shodiq, berasal dari Palestina datang di Jawa tahun 1436 M, menggantikan
Malik Isra’ilyang wafat pada tahun 1436 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga
dikenal sebagai Sunan Kudus.
c. Syarif
Hidayatullah, berasal dari Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M,
menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat pada tahun 1435. Sidang Wali Songo
yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya. Para Wali kemudian membagi tugas.
Sunan Ampel (Raden Rahmat), Maulan Ishaq dan Maulan Jumadil Kubro bertugas di
Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana Al-Maghrobi bertugas di Jawa
Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin dan Maulan Aliyuddin di Jawa
Barat.
Wali Songo Periode Ketiga
yaitu, pada tahun 1463 M. Masuklah empat Wali menjadi anggota Wali Songo antara
lain :
a. Raden
Paku atau Syekh Maulana A’inul Yaqin kelahiran Blambangan, Jawa Timur. Putra
dari Syekh Maulana Ishaq dengan putri Blambangan yang bernama Dewi Sekardadu.
Raden paku ini menggantikan ayahnya yang telah pindah ke Pasai, karena Raden
Paku tinggal di Giri, maka beliau dikenal sebagai Sunan Giri, makamnya terletak
di Gresik Jawa Timur.
b. Raden
Said atau Sunan Kali Jaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra
Adipati Wilaktikayang berkedudukan di Tuban, Sunan Kali Jaga menggantikan Syekh
Subakir yang kembail ke Persia.
c. Raden
Maqdum Ibrahim atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya, Beliau adalah putra
Sunan Ampel, menggantikan maulana Hasnuddin.
d. Raden
Qasim atau Sunan Drajad, kelahiran Surabaya, putra Sunan Ampel, menggantikan
Maulana Aliyyudin, sidang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.
Wali Songo periode Keempat
yaitu, pada tahun 1466 diangkat dua Wali yang menggantikan dua Wali yang telah
wafat yaitu, Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Al-Maghrobi. Dua
Wali yang menggantikannya adalah :
a. Raden
Hasan atau Raden Fattah (Raden Patah) adalah Murid Sunan Ampel, Beliau adalah
putra Raja Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada
tahun 1462 M. Kemudian membangun masjid Demak pada tahun 1465dan dinobatkan
menjadi Raja Sultan Demak pada tahun 1468.
b. Fathullah
Khan, putra Sunan Gunung Jati. Beliau dipilih sebagai Wali Songo untuk membantu
ayahnya yang telah berusia lanjut. Wali Songo periode Kelima ini
masuklah Sunan Muria atau Raden Umar Said putra Sunan Kalijaga menggantikan
wali yang wafat. Konon Syekh Siti Jenar itu juga salah seorang anggota Wali
Songo, namun karena beliau mengajarkan ajaran sesat maka Syekh Siti Jenar
dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Syekh Siti Jenar digantikan oleh Sunan
Bayat (Sunan Tembayat yang nama aslinya adalah Adipati Pandanarang). [2]
Demikian sekilas gambaran Wali Songo
dari berbagai periode. Selanjutnya inilah Walisongo yang dikenal dan dimaklumi
oleh masyarakat luas secara umum. Para Wali itu adalah sebagai berikut :
1) Syekh
Maulana Malik Ibrahim
Syeikh Maulana
Malik Ibrahim, terkenal dengan sebutan Syeikh Maghribi, berasal dari Gujarat,
India. Ia dianggap sebagai pencipta pondok pesantren yang pertama. Ia
mengeluarkan mubaligh-mubaligh Islam, yang mengembangkan agama suci itu
keseluruh Jawa.[3]
2) Sunan
Ampel
Sunan Ampel (Campa, Aceh, 140 – Ampel, Surabaya,
1481) namanya Raden Rahmat. Ia adalah putra Maulana Malik Ibrahim dan terkenal
sebagai perencana pertama kerajaan Islam di jawa. Ia mulai aktivitasnya dengan
mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya, sehingga ia dikenal
sebagai pembina pondok pesantren di jawa Timur.
Menurut Babat Diponegoro, Sunan Ampel sangat
berpengaruh dikalangan Islam Majapahit, bahkan istrinyapun berasal dari kalangan
istana. Sunan Ampel tidak mendapatkan hambatan berarti bahkan mendapatkan izin
dari penguasan kerajaan. Sunan Ampel tercatat sebagai perancang kerajaan
pertama di pulau jawa dengan ibukota di Bintaro, Demak. Dialah yang mengangkat
Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak, yang dipandang punya jasa paling
besar dalam meletakkan peran politik umat Islam di nusantara.
Disamping itu Sunan Ampel juga ikut
mendirikan masjid Agung Demak pada tahun 1479 bersama wali-wali yang lain.
Ketika mendirikan masjid tersebut para wali mengadakan tugas. Sunan Ampel
diserahi tugas membuat salah satu dari saka gurui (tiang kayu raksasa) yang
kemudian dipasang di bagian tenggara. Tiga tiang besar yang lain dikerjakan
oleh Sunan Kalijaga untuk yang sebelah timur laut (bukan berupa tiang utuh,
tetapi berupa beberapa balok yang diikat menjadi satu yang disebut “saka
tatal”) Sunan Bonang untuk tiang sebelah barat laut. Sunan Gunung Jati untuk
tiang sebelah barat daya. Semenatara bagian-bagian lain dikerjakan oleh para
wali yang lain.[4]
Pada awal Islamisasi pulau jawa, Sunan Ampel
menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni, ia tidak setuju
dengan kebiasaan adat jawa seperti kenduri, selamatan, sesaji, dan sebagainya
tetapi hidup dalam sistem sosial kultural masyarakat yang telah memeluk agama
Islam. Namun wali-wali yang lain berpendapat bahwa untuk sementara kebiasaan
tersebut harus dibiarkan karena masyarakat sulit meninggalkannya secara
serentak. Akhirnya Sunan Ampel mentoleransinya.
3) Sunan
Bonang
Sunan Bonang (Ampel Denta, Surabaya
1465-Tuban 1525) Dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka
mengembangkan ajaran Islam dipesisir utara jawa timur. Setelah belajar Islam di
pasai, aceh Sunan Bonang kembali ke Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan Pondok
pesantren. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah di nusantara.
Setelah sunan ampel wafat, pesantren yang ditinggalkannya tidak lagi mempunyai
pemimpin resmi. Maka untuk mengisi kekosongan itu sunan Bonang memprakarsai
musyawarah para wali untuk membicarakan siapa yang akan mempimpin pesantren
tersebut. Hasilnya Raden Fatah yang menjadi pengganti almarhum Sunan Ampel.[5]
Dalam menyebarkan Islam Sunan Bonang dan
para wali yang lainnya selalu menyesuaiakan diri dengan corak kebbudayaan
masyarakat jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka
memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dan
menyisipkan nafas Islam kedalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali
tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah swt. dan tidak
menyekutukan-Nya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua
kalimat syahadat); gamelan yang mengiringinya kini dikenal dengan istilah
sekaten. Yang berasal dari syahadatain.
Sunan Bonang memusatkan dakwahnya di sekitar
jawa timur. Dalam aktifitas dakwahnya beliau mengganti nama-nama dewa dengan
nama-nama malaikat dengan tujuan agar para penganut Hindu-Budha mudah diajak
masuk Islam. Catatan-catatan pendidikan sunan bonang kini dikenal dengan “suluk
Bonang” atau “Primbon sunan Bonang”. Buku ini berbentuk prosa jawa, kalimatnya
sangat banyak dipengaruhi bahasa arab.
4) Sunan
Giri
Sunan Giri (Blambangan, pertengahan abad
ke-15-Giri, 1506). Nama aslilnya Raden Paku disebut juga prabu Satmata.
Kadang-kadang disebut Sultan Abdul Fakih. Ketika usianya beranjak dewasa, raden
paku belajar agama di pondok pesantren Ampel Denta dan disana berteman baik
dengan Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel yang dikenal dengan
sunan Bonang. Dalam suatu perjalanan haji menuju Mekah, kedua santri ini lebih
dahulu memperdalam pengetahuan di pasai. Disini Raden paku sampai pada tingkat
ilmu Laduni. Sehingga gurunya menganugerahinya gelar ‘ain al Yakin. Karena itu
ia kadang-kadang dikenal masyarakat dengan sebutan Raden ‘ainul Yakin.[6]
Sunan Giri dikenal sebagai pendidik yang
berjiwa demokratis. Ia mendidik anak-anak melalui berbagai permainan yang
berjiwa agama. Ia juga dipandang sebagai orang yang sangat berpengaruh terhadal
jalannya roda kesultanan Demak Bintaro (Kesultanan Demak)
5) Sunan
Drajad
Sunan Drajat (Ampel Denta, Surabaya, sekitar
tahun 1470-Sedayu, Gresik pertengahan abad ke-16). Nama aslinya atau
Syarifuddin, karena ia dimakamkan di daerah Sedayu, maka kebanyakan masyarakat
awam mengenalnya sebagai sunan Sedayu.
Hal yang paling menonjol dalam dakwah sunan
Drajat adalah perhatiannya sangat serius kepada masalah-masalah sosial. Ia
terkenal mempunyai jiwa sosial da teman-teman dakwahnya selalu berorientasi
pada keotong royongan. Ia selalu mempertahankan kepada umum, menyantuni anak
yatim dan fakir sebagai suatu bentuk proyek sosial yang dianjurkan oleh agama
Islam.[7]
6) Sunan
Muria
Sunan Muria (abad ke-15
abad ke-16) nama aslinya ialah Raden Umar Said, atau raden Prawoto, namun ia
lebih dikenal dengan nama Sunan Muria karena pusat dakwahnya dan makamnya terletak
di gunung Muria (18 km disebelah utara kota Kudus sekarang).
Ciri khas sunan Muria dalam upaya menyiarkan
agama Islam adalah menjadikan desa-desa terpencil sebagai tempat operasinya. Ia
lebih suka menyendiri dan bertempat tinggal di desa dan bergaul dengan rakyat
biasa. Cara yang ditempuhnya dalam menyiarkan agama Islam adalah dengan
kursus-kursus bagi kaum pedagang, para nelayan, dan rakyat biasa. Dalam rangka
dakwah melalui budaya ia menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti.[8]
7) Sunan
Kudus
Sunan Kudus (Abad ke-15 Kudus, 1550) Nama
aslinya Ja’far Sadiq, tetapi sewaktu kecil dipanggil Radeng Undung.
Kadang-kadang dipanggil Raden Amir Haji, sebab ketika menunaikan ibadah haji ia
bertindak sebagai pimpinan rombongan (amir).
Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di daerah
kudus dan sekitarnya, dan dia memiliki keahlian khusus dalam ilmu agama,
terutama dalam fikih, usul fikih, tauhid, hadits,tafsir, serta logika. Karena
itulah diantara walisongo hanya ia yang mendapatkan julukan sebagai wali al
‘ilmi (orang yang luas ilmunya) dan karena keluasan ilmunya didatangi oleh
banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di nusantara.
Dalam melaksanakan dakwah dengan pendekatan
kultural, sunan Kudus menciptakan berbagai cerita keagamaan, yang paling
terkenal ialah Gending Maskumambang dan Mijil. Ada cerita mengatakan bahwa
sunan Kudus pernah belajar di Baitulmakdis, Palestina dan pernah berjasa
memberantas penyakit yang menelan banyak korban di Palestina. Atas jasanya itu
di beri ijazah wilayah (daerah kekuasan) oleh pemerintah Palestina di
Palestina. Namun Sunan Kudus mengharapkan hadiah tersebut dipindah di ke pulaua
jawa dan oleh Amir permintaan tersebut dikabulkan. Sekembalinya di jawa ia
mendirikan masjid di daerah Loran tahun 1459; masjid itu diberi nama masjid Al
Aqsho atau Al Manar (masjid Menara Kudus) dan daerah sekitarnya diganti nama
menjadi Kudus diambil dari nama sebuah kota di Palestina Al Quds.[9]
8) Sunan
Kalijaga
Sunan Kalijaga (akhir abad ke-14 –
pertengahan abad ke-15) terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar,
berpandangan jauh, berfikiran tajam, intelek serta berasal dari suku jawa asli.
Sunan Kalijaga bernama aslli Raden Mas
Syahid dan kadang-kadang dijuluki sykh Malaya. Daerah operasi Sunan Kalijaga
tidak berbatas, bahan sebagai mubalig ia berkeliling dari satu daerah ke daerah
yang lain, karena sistem dakwahnya yang intelek dan aktual, maka para bangsawan
dan cendikiawan sangat simpatik kepadanya, demikian juga lapisan masyarakat
awam, bahkan penguasa.[10]
Sunan Kalijaga mengarang aneka cerita yang bernafaskan
Islam, terutama mengenai etika. Kecintaan masyarakat terhadap wayang digunakan
sebagai sarana untuk menarik mereka masuk Islam. Banyak corak batik yang oleh
Sunan Kalijaga diberi motif burung, burung dalam bahasa kawi disebu kukula.
Kata tersebut ditulis dalam bahasa arab menjadi qu dan qila yang berarti
“peliharalah ucapanmu sebaik-baiknya”. Dan menjadi salah satu ajaran etika
sunan Kalijaga melalui corak batik.[11]
9) Sunan
Gunung Jati
Sunan Gunung Jati (Makah,1448-Gunung Jati,
Cirebon, Jawa Barat,1570) Nama asilnya Syarif Hidayatullah. Dialah pendiri
dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten. Ia mengembangkan dasar bagi
pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang Islam di Banten pada tahun 1525
atau 1526. ketika ia kembali di Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya,
Sultan Maulana Hasanuddin kemudian menurunkan raja-raja Banten. Di tangan
raja-raja Banten inilah kemudian Pajajaran dikalahkan. Atas prakarsa sunan
Gunung Jati juga penyerangan kesunda Palapa dilakukan pada tahun 1527, penyerangan
ini dipimpin oleh Faletehan atau Fatahillah (W.1570)[12]
B.
Aliran tasawuf di Indonesia
Untuk menelusuri aliran-aliran tasawuf yang
berkembang di Indonesia, dapat dilakukan dengan melihat konsep-konsep tasawuf
yang berkembang pada kurun waktu kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Aceh. Dalam
karya tulis Hamzah Fansuri dan sufi sezamannnya, nampaknya tasawuf falsafi yang
mereka kembangkan. Sebab konsep tanazul dan taraqqi Hamzah Fansuri yang
kemudian dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin Pasai, adalah modifikasi dari
konsepsi tajalli tasawuf Ibn Arabi, yang diawali konsep Al-fana Abu Yazid
al-Busthami. Konsep kedua sufi ini ditentang oleh Abdul Rauf Singkel dan
mendapat dukungan kuat dari Nuruddin ar-Raniri melalui konsepsi wahdat
as-syuhud yang merrupakan penghalusan dari doktrin al-ittihad Abu Yazid.[13]
Dalam perkembangan Islam selanjutnya, sistem
pendidikan masyarakat peninggalan Hindu dan Budha diteruskan oleh oleh para
penyiar Islam. Proses taransformasi (alih pengetahuan) ilmu keislaman dilakukan
secara “sorongan” yang kemudian meningkat dengan cara”bandongan” dan “wetonan”.
Dari embrio model ini, kemudian bermunculan model pendidikan islam yang dikenal
dengan pesantren dan tarekat sebagai lembaga tasawuf. Dengan demikian kuatnya
pengaruh mazhab Syafi’I, maka sufisme yang dipelajari di pesantren adalah
tasawuf Sunni yang bersumber dari tasawuf al-ghazli. Lain halnya dengan
tarekat, tasawuf yang diajarkan keliahatannya merupakan gabungan dari tasawuf
sunni dan tasawuf falsafi. Sebab, tarekat tarekat yang berkembang di Indonesia
seperti Tarekat qadiriyah (didirikat oleh Abdul Qadir Jailani), Tarekat
Naqsyabandiyah (didirikan oleh Muhammad Bahauddin al-Naqsyaband), tarekat
Sammaniyah (didirikan Muhammad Sammani), Tarekat Syattariyah (didirikan oleh
Syattar) dan Tarekat Khalwatiyah (didirikan oleh Yusuf al-Khalwati), seluruhnya
mengenal dan mengajarkan konsep al-fana, walaupun tidak seluruhnya persis
seperti yang diajarkan oleh Abu Yazid al-Busthami.[14]
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Wali songo (sembilan wali) adalah sembilan
ulama yang merupakan pelopor dan pejuang pengembangan agama Islam (islamisasi)
di pulau jawa pada abad ke-15. dalam penyiaran Islam dijawa, wali songo
dianggap sebagai kepala kelompok dari sejumlah besar mubalig Islam yang
mengadakan dakwah-dakwah yang belum memeluk agama Islam.
Aliran-aliran sufi di
Indonesia diawali atau dimulai ada sejak zaman Wali songo (wali yang sembilan).
Pada masa ini tasawuf mengalami perkembangan yang cukup pesat di Indonesia.
Wali songo (sembilan wali) yang merupakan pelopor dan pengembangan agama Islam
(Islamisasi) di pulau jawa pada abad ke-15.
Ada banyak aliran-aliran
tasawuf yang berkembang di Indonesia, antara lain Tarekat
qadiriyah (didirikat oleh Abdul Qadir Jailani), Tarekat Naqsyabandiyah
(didirikan oleh Muhammad Bahauddin al-Naqsyaband), tarekat Sammaniyah
(didirikan Muhammad Sammani), Tarekat Syattariyah (didirikan oleh Syattar) dan
Tarekat Khalwatiyah (didirikan oleh Yusuf al-Khalwati), seluruhnya mengenal dan
mengajarkan konsep al-fana, walaupun tidak seluruhnya persis seperti yang
diajarkan oleh Abu Yazid al-Busthami.
DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Aboebakar., Pengantar
Sejarah Sufi & Tasawuf, Solo: Ramadhani,1990
Siregar, Rivay., Tasawuf: Dari
Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Wahyudi Asnan., Khalid, Abu., Kisah
Wali Songo: Para penyebar agama Islam di tanah Jawa), Surabaya: Karya Ilmu, 2001
Aceh, Abu Bakar., Pengantar Ilmu Tarekat, Jakarta: Fa. HM
Thawi & Son, 1996
[1] Asnan
Wahyudi, Abu Khalid., Kisah Wali Songo: Para penyebar agama Islam di tanah
Jawa, (Surabaya: Karya Ilmu), 2001,
hlm 7
[3] Prof.Dr.H.
Aboebakar Atceh, Pengantar Ilmu Sejarah
Sufi & Tasawuf, (Solo: Ramadhani), 1990. Hlm 372
[10]
Prof.Dr.H. Aboebakar Atceh, Op.Cit., hlm 374
[13] Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme
Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2002, hlm 225
[14]
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Jakarta:
Fa. HM Thawi & Son), 1996, hlm 291